SALAH MEMAHAMI MAKA SALAH DALAM MENYIKAPI


bagaimana mungkin orang2 bisa bersikap lemah lembut kepada kaum muslimin yang awwam, jika masih ada dalam keyakinan yang salah di hatinya dalam memahami ciri2 ahlul bid'ah seperti sururiyah (bukan ahlussunnah) adalah memakai baju koko, peci hitam, celana bantholun (walaupun tidak isbal), jilbab akhwatnya selain warna hitam/gelap.
Padahal kaum muslimin yang awwam lekat ciri khas tersebut bahkan masih banyak yang isbal dan pakai krudung pendek,
dengan keyakinan seperti itu maka konsekuensinya orang itu harus memasang baro', tidak mengucapkan salam, tidak mau duduk berdampingan, dan tidak mau bermuamalah dengan kaum muslimin yang terdapat ciri2 tersebut.

sebagaimana Nasihat Para Ulama Salaf Agar Menjauhi Ahlul Bid’ah
Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:
“Janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena akan menyebabkan hatimu sakit.” [al-Ibaanah libni Baththah al-‘Ukbary]

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Hindarilah duduk bersama ahli bid’ah dan barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah, maka ia tidak akan diberi hikmah. Aku suka jika di antara aku dan pelaku bid’ah ada benteng dari besi.” [al-Ibaanah libni Baththah al-‘Ukbary dan syarhus sunnah]

Beliau rahimahullah juga berkata:
“Aku mendapati orang-orang terbaik, semuanya adalah penjaga-penjaga Sunnah dan mereka melarang bersahabat dengan orang-orang yang melakukan bid’ah.” [Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah]

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
“Janganlah kalian duduk dengan pengikut hawa nafsu, janganlah berdebat dengan mereka dan janganlah mendengar per-kataan mereka.”[Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya, lihat kitab Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah ]

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata:
“Jika engkau bertemu dengan pelaku bid’ah di jalan, maka ambillah jalan lain.” [al-Bida’ wan Nahyu ‘anhaa]

Abu Qilabah al-Raqasyi rahimahullah berkata tentang ahli bid’ah:
“Janganlah duduk bersama mereka dan janganlah bergaul dengan mereka. Sebab aku khawatir mereka menjerumus-kanmu ke dalam kesesatan mereka dan mengaburkan kepada-mu banyak hal dari apa-apa yang telah kalian ketahui.” [al-Bida’ wan Nahyu ‘anhaa]

Ketika datang dua orang (pengikut hawa nafsu) kepada Muhammad bin Sirin rahimahullah, keduanya berkata: “Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits.” Beliau berkata: “Tidak.” Keduanya berkata lagi: “Kami akan membacakan kepadamu suatu ayat dari Kitabullah.” Beliau menjawab: “Tidak, kalian pergi dariku atau aku yang pergi dari kalian.” [Diriwayatkan oleh ad-Darimi, lihat al-Ibaanah]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat seseorang duduk-duduk bersama ahli bid’ah, berikanlah peringatan keras dan jelaskanlah kepadanya tentang kepribadiannya. Apabila ia tetap duduk-duduk bersama ahli bid’ah setelah ia mengetahuinya maka jauhilah ia karena ia termasuk pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah).” [Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahari]

Imam al-Barbahari rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat suatu kebid’ahan pada seseorang, jauhilah ia sebab yang ia sembunyikan darimu lebih banyak dari apa yang ia perlihatkan kepadamu.” [Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahari]

dari Nasehat ulama tersebut tidaklah salah, namun yang salah itu adalah orang yang memahami nasehat ulama tidak pada tempatnya. Oleh karena itu pentingnya memahami batasan-batasan Syar’i dalam mengetahui ciri2 Ahlul Bid’ah

Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullaah berkata: “Hukum asal dalam syari’at ini adalah hajr terhadap ahli bid’ah, tetapi tidak bisa digeneralisir secara umum dalam setiap keadaan, setiap orang serta kepada setiap ahli bid’ah, tidak bisa demikian. Begitu pula sebaliknya, menolak dan meninggalkan hajr terhadap ahli bid’ah secara mutlak adalah perbuatan meremehkan masalah ini di mana telah jelas kewajibannya secara syar’i berdasarkan nash dan ijma’. Dan disyari’atkannya hajr ini dalam rangka batasan-batasan syar’i yang dilandasi dengan pertimbangan didapatkannya kemaslahatan dan dihindarkannya kerusakan, dan yang demikian itu berbeda-beda penerapannya tergantung dari perbedaan jenis bid’ah, yang berhubungan dengan ahli bid’ahnya itu sendiri, kemudian sedikit dan banyaknya, begitulah seterusnya ditinjau dari sisi-sisi perbedaan lainnya, di mana syari’at Islam mempertimbangkan hal itu semua.

Timbangan -bagi seorang muslim- yang dengan timbangan tersebut penerapan hajr itu menjadi benar sesuai dengan aturan mainnya. Timbangan itu berupa seberapa jauh dari tujuan-tujuan disyari’atkannya hajr terhadap ahli bid’ah dapat terealisasi, yang di antara tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai bentuk hukuman, pelajaran, kembalinya orang banyak kepada kebenaran, me-nyempitkan ruang gerak ahli bid’ah, menahan penyebaran bid’ah, dan menjamin bersihnya Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kotoran bid’ah. [Hajrul Mubtadi’ oleh Syaikh Bakr Abu Zaid]

Yang harus diperhatikan dalam menghajr dan mentahdzir terhadap ahli bid’ah adalah wajib dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala bukan karena dorongan hawa nafsu, dengki, iri atau taqlid, dan lainnya. Selain itu juga harus ittiba’ (mencontoh) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta mengikuti manhaj para Sahabat Radhiyallahu anhuma. Banyak sekali orang yang menghajr karena semata-mata mengikuti hawa nafsunya dan dia menyangka hal tersebut sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. [Majmuu’ Fataawaa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah]

Dan sebagai tambahan, bahwa dalam menghajr harus memper-timbangkan mashlahat (manfaat) dan mafsadah (kerusakan) serta bertanya kepada ulama yang mendalam ilmunya agar dia tidak berbuat zhalim kepada saudaranya sesama muslim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seandainya setiap perselisihan dua orang muslim tentang suatu perkara, mereka saling melakukan hajr, maka tidak tersisi lagi penjagaan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.” [Majmuu’ Fataawaa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah]
dan beliau rahimahullah juga berkata:
“Betapa banyak manusia digambarkan oleh syaithan bahwa yang ia lakukan itu sebagai amar ma’ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, padahal sesungguhnya yang ia lakukan itu berupa kezhaliman dan permusuhan.” [Dhawaabitul Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar ‘inda Syaikhil Islam]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar