Orang-orang yang taqlid



Orang-orang yang taqlid itu enggan menerima kebenaran karena mereka khawatir jika mereka meninggalkan pendapat ulamanya maka mereka tidak lagi dikatakan sebagai pengikut ulamanya atau bahkan mereka dianggap telah mencela ulamanya, padahal dalam sebuah hadits disebutkan,

Artinya: “Mencela seorang Muslim adalah (perbuatan) fasik.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]

Ketika membawakan hadits tersebut, mereka tidak memahami betul makna sesungguhnya yang terkandung dalam hadits itu. Dan bagaimana mereka dapat lebih mengkhawatirkan sikap celaan terhadap imamnya, tetapi mereka tidak mengkhawatirkan perbuatan durhaka yang telah mereka lakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rujukan ulama mereka juga…???

Karena alasan itulah, mereka tetap teguh untuk mengikuti seluruh pendapat ulama mereka, tanpa adanya upaya untuk mencari kebenaran. Dengan demikian, mereka tidak hanya berhukum dengan pendapat yang benar dari ulamanya, tapi mereka juga mengambil pendapat yang salah dan berhukum dengannya.

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah berkata: “Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra’yu-nya (akalnya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang (Sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang lebih benar dari pendapatnya) maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut.”
[Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi dan I’lamul Muwaqqi’in]

Taqlid buta amat berbahaya bagi kehidupan ummat karena dapat menimbulkan sikap jumud (kaku) yang dapat membekukan peran akal sebagai aset untuk berpikir. Selain itu, taqlid buta juga menciptakan sikap ta’ashshub ashabiyah (fanatik terhadap tokoh tertentu) yang dapat memecah belah ummat dan menimbulkan perselisihan yang dilandasi oleh hawa nafsu. Sikap seperti ini tidak jauh berbeda dengan sikap para penganut firqah (golongan) sesat, seperti Syi’ah Rafidhah dan Khawarij.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang, maka kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashshub kepada salah seorang Shahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalannya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang mereka telah keluar dari syari’at dengan kesepakatan ummat dan berdasarkan al-Quran dan Sunnah.”
[Lihat Mukhtashar Fatawa Mishniyyah]

Senada dengan Syaikhul Islam diatas, Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah pun pernah berkata, “Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan imam yang lainnya, maka dia seperti orang yang ta’ashshub kepada seorang Shahabat dan mengesampingkan Shahabat yang lainnya. Seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashub kepada ‘Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya para pengikut hawa nafsu.”
[Lihat Al-Ittiba’]

Itulah dampak buruk dari sikap taqlid seorang yang awam dan senantiasa menerima segala hal yang diberikan kepadanya tanpa dikritisi terlebih dahulu. Semakin lama dia taqlid, semakin dia akan terbiasa untuk menerima segala sesuatunya ‘bulat-bulat’, entah yang diterimanya itu adalah ‘madu’ ataukah ‘racun’

Islam ditegakkan di atas ilmu. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan syari’at haruslah dilandasi dengan ilmu. Adapun taqlid, itu bukanlah ilmu, sehingga orang-orang yang taqlid tidak boleh mengatakan bahwa pendapat orang yang dia ikuti itu adalah pendapat yang paling benar, sampai dia mampu untuk melakukan pembuktian secara ilmiyah bahwa pendapat tersebut adalah benar.

Dengan demikian, wajib bagi seluruh manusia yang menginginkan keselamatan di dunia maupun di akhirat untuk senantiasa berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya karena perkataan atau perbuatan manusia. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling utama untuk diikuti dan petunjuknya adalah sebaik-baik petunjuk.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Qs. Al-A’raf: 3)

Pada ayat di atas, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya melalui perantara hamba-Nya, yakni Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah melarang kita untuk mengikuti perintah selain dari perintah-Nya.

Hendaknya orang-orang yang taqlid itu mengetahui sumber pengambilan hukum dari orang yang ditaqlidinya dalam rangka mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati para ulama rahimahumullah. Dan barang siapa yang menganggap bahwa taqlid tanpa ilmu itu sebagai perbuatan baik maka ketahuilah, bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dalam taqlidnya itu. Karena para ulama ber-Islam atas dasar ilmu dan ittiba’, bukan atas dasar ra’yu (pemikiran/persangkaan dengan akal) dan hawa nafsu semata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar